Seputar Kisah Perjalanan Melayu Pesisir Sumatera Timur

Kesultanan Serdang Bedagai

Serdang Bedagai merupakan sebuah kerajaan bercorak Islam. Kesultanan ini terletak di Kabupaten Serdang Bedagai, atau yang biasa disingkat ‘Sergai’, di Provinsi Sumatra Utara, Indonesia. Nama Serdang Bedagai diambil dari dua kesultanan yang pernah memerintah di wilayah tersebut, yakni Kesultanan Serdang dan Padang Bedagai.

Kesultanan Serdang dimulai ketika terjadi perebutan tahta Kesultanan Deli setelah Tuanku Panglima Paderap (pendiri Kesultanan Deli) mangkat pada tahun 1723 M. Tuanku Gandar Wahid sebagai anak kedua Tuanku Panglima Paderap mengambil alih tahta dengan tidak mempedulikan abangnya Tuanku Jalaludin dan adiknya Tuanku Umar Johan. Dalam kondisi seperti ini, Tuanku Jalaludin tidak bisa berbuat banyak karena ketidaksempurnaan pada fisiknya. Sementara, Tuanku Umar Johan justru terpaksa mengungsi ke wilayah Serdang karena tidak tahan dengan perlakuan Tuanku Gandar Wahid yang semena-mena.

Melihat hal itu, beberapa petinggi wilayah Serdang, yakni Datuk Sunggal Serbanyaman, Raja Urung Sinembah, Raja Ulung Tanjong Morawa, dan Kejuruan Lumu sebagai wakil Aceh mau tidak mau menabalkan (menobatkan) Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Shah Kejuruan Junjungan atau sering kita kenal sebagai Raja Osman sebagai Sultan Serdang pertama pada tahun 1728. Wilayah kekuasaan kesultanan ini berpusat di Kampung Besar tempat di mana ibunya, Tuanku Ampunan Sampali tinggal.

Dalam perkembangannya, Tuanku Umar akhirnya tewas saat pasukan dari Kerajaan Siak ingin menaklukan kerajaan-kerajaan Melayu di pesisir Sumatra Timur pada tahun 1782 dan dimakamkan di tengah-tengah perkebunan Sampali. Kesultanan Serdang kemudian dilanjutkan oleh sang putra, Tuanku Ainan Johan Alam Shah. Sedangkan adiknya, Tuanku Sabjana, ditempatkan sebagai Raja Muda di Kampung Kelambir yang terletak di pinggir Sungai Tuan.

Di bawah kepemimpinan Tuanku Ainan, Kesultanan Serdang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Beliau memproyeksikan perluasan wilayah kesultanan dengan melebarkan wilayah kekuasaannya hingga ke Percut dan Serdang Hulu. Beliau memiliki beberapa anak setelah memperistri putri dari Raja Perbaungan, yakni Tuanku Sri Alam. Dan, setelah anak-anak Tuanku Ainan dewasa, mereka membuka dan memimpin perkampungan-perkampungan baru di wilayah Tuanku Ainan. Melihat pengaruh Tuanku Ainan yang sedemikian besar, Kesultanan Siak memberi gelar ”Sultan” pada Tuanku Ainan di tahun 1814.

Pada tahun 1817, Tuanku Ainan mangkat dan diganti oleh putra keduanya, Tengku Sinar karena putra pertamanya Tengku Zainal Abidin tewas dalam pertempuran di Kampung Punggai. Tengku Sinar dinobatkan sebagai raja di Kampung Punggai dan kemudian diberi gelar Paduka Sri Sultan Thaf Sinar Bashar Shah. Pada zaman inilah Kesultanan Serdang mengalami kejayaan. Kejayaan itu diperoleh melalui perdagangan dan penerapan sistem pemerintahan yang adil.

Dalam bidang ekonomi, tercatat kesultanan ini melakukan perjanjian dagang dengan Inggris pada tahun 1823. Tercatat ekspor ketika itu berjumlah 8.000 pikul terdiri lada, tembakau, kacang putih, emas, dan kapur barus. Sedangkan Inggris memasok kain-kain buatan Eropa ke Serdang. Seiring dengan menguatnya Kesultanan Serdang secara ekonomi, wilayah kekuasan mulai meluas dari Percut, Padang Bedagai, Sinembah, Batak Timur sampai ke Negeri Dolok. Sultan Serdang keempat adalah Tengku Muhammad Basyaruddin yang kemudian bergelar Paduka Sri Sultan M. Basyarauddin Syaiful Alam Shah. Ia ditabalkan di tahun 1850 sesaat setelah ayahandanya mangkat. Basyaruddin merupakan putra keempat Tuanku Ainan. Selama pemerintahannya, Kesultanan Serdang melebarkan wilayah jajahannya hingga ke Batubara (Lima Laras), seluruh Senembah dan menembus kawasan Karo dan Batak Timur.

Memasuki masa kolonial, dan ketika itu pengaruh Belanda semakin kuat, Sultan Basyarudiin dengan tegas memihak pada Kesultanan Aceh untuk melakukan perlawanan. Hal ini membuat ia diberi mandat sebagai Wajir (kuasa) Sultan Aceh dengan wilayah kewajirannya meliputi Langkat hingga Asahan. Sebagai wajir, ia menghadapi kedatangan ekspedisi Belanda yang dipimpin Netscher pada tahun 1862. Di sisi lain, Sultan Basyaruddin berusaha menjaga perdamaian dengan Kesultanan Deli yang memiliki hubungan akrab dengan Belanda. Kala itu, peperangan dengan Kesultanan Deli sempat pecah ketika Serdang merebut kembali wilayah Denai. Demikian juga ketika Kesultanan Aceh mengirim 200 kapal perang untuk menyerang Kesultanan Deli dan Kesultanan Langkat, Sultan Basyaruddin turut membantu.

Dalam melawan Belanda, Sultan Basyaruddin didukung oleh para raja dan orang-orang besar jajahannya seperti raja Kampung Kelambir: Raja Muda Pangeran Muda Sri Diraja M Takir, Wajir Bedagai: Datuk Putera Raja Negeri Serdang Ahmad Yudha, Wajir Senembah: Kejuruan Seri Diraja Sutan Saidi. Melihat perlawanan yang begitu kuat, akhirnya pada Agustus 1865 Belanda menurunkan ribuan pasukannya di Batubara dan Tanjung Balai. Penyerangan ini diberi sandi Ekspedisi Militer melawan Serdang dan Asahan. Pada 30 September 1865, pasukan Belanda sampai di Serdang dan langsung mengejar Sultan Basyaruddin yang bertahan di pedalaman, hingga akhirnya perlawanan tersebut dipatahkan pada 3 Oktober 1865 dan Sultan Basyaruddin ditawan Belanda. Belanda kemudian merampas tanah-tanah jajahan Serdang seperti Padang, Bedagai, Percut dan Denai. Pada 20 Desember 1879, Sultan Basyaruddin mangkat di Istana Bogak, Rantau Panjang dan dimakamkan di dekat Stasiun Araskabu.

Kesultanan Serdang kemudian diteruskan oleh Tengku Sulaiman yang saat itu masih dibawah umur, 13 tahun. Ia ditabalkan menjadi Paduka Sri Sultan Tuanku Sulaiman Syariful Alam Shah. Untuk menghindari kekosongan kekuasaan, pamannya Tengku Mustafa bergelar Raja Muda Sri Maharaja diangkat sebagai Wali Sultan. Penabalan ini dilaksanakan di Istana Tanjung Puteri, Bogak, Rantau Panjang. Pengangkatan ini tidak serta merta diakui oleh Residen Belanda. Mereka memberi 3 syarat jika Sultan Sulaiman ingin diakui yakni: (1) Serdang tidak menuntut daerah-daerah yang telah dirampas Belanda, (2) penetapan tapal batas antara Deli dan Serdang, serta (3) Sultan harus tunduk pada kekuasaan Belanda. Sultan Sulaiman bergeming dan tidak mengindahkan tiga persyaratan dari Belanda. Pada tahun 1882, Belanda memaksa agar sebagian wilayah Senembah diserahkan kepada Deli dengan imbalan Deli akan menyerahkan kembali Negeri Denai. Sultan Sulaiman baru diakui pada tahun 1887 walau ia tetap tidak setuju atas tapal batas dengan Deli yang ditentukan Belanda.

Tahun 1891 Kontrolir Belanda, Douwes Dekker memindahkan ibukota Kesultanan Serdang ke Lubuk Pakam karena Rantau Panjang selalu mengalami banjir. Namun, Sultan Sulaiman tidak mau. Ia yang telah membangun Istana Kota Galuh dan Masjid Sulaimaniyah di Persimpangan Tiga Perbaungan pada tahun 1886 justru pindah ke istana tersebut. Daerah-daerah taklukan Serdang yang dikuasai Belanda dijadikan perkebunan seperti di Denai, Bedagai, Senembah, dan Percut. Seluruh perkebunan ini mengikat kontrak dengan Sultan Deli. Walau diakui, kekuasaan sultan pelan-pelan dibatasi Belanda. Bahkan, ketika Sultan Serdang pulang dari pertemuan dengan Kaisar Jepang Tenno Heika Meiji Mutshuhito di Jepang, tapal batas dengan Bedagai telah diperkecil Belanda. Belanda juga menghapus jabatan-jabatan penting kesultanan setelah penyandangnya meninggal dunia.

Di bawah pimpinan Sultan Sulaiman, kesultanan Serdang membangun 2.000 bahu lahan persawahan lengkap dengan irigasinya. Kemudian di tahun 1903 didatangkan transmigran masyarakat Banjar untuk mengolahnya. Sultan juga membuka pabrik belacan dan sabun di Pantai Labu serta membuka perkebunan tembakau di Kuala Bali. Bank Batak dibangun Sultan di Bangun Purba sebagai penunjang roda perekonomian di Serdang. Di bidang pendidikan, Sultan mendirikan sekolah Syairussulaiman di Perbaungan. Dalam buku Kronik Mahkota Kesultanan Serdang yang ditulis Tuanku Luckman Sinar Basarsyah, Sultan Sulaiman digambarkan orang yang anti Belanda. Misalnya Sultan Sulaiman adalah orang yang memperjuangkan agar rakyat yang tinggal di sekitar perkebunan tembakau. Untuk memastikannya ia membuat kodefikasi tentang Hak Adat Rakyat Penunggu di tahun 1922 di mana hak ini membenarkan siapa saja yang memenuhi syarat untuk memperoleh hak jaluran. Sultan Sulaiman juga dikenal akrab dengan kesenian dan kebudayaan. Ia mendirikan teater ”Indera Ratu” yang membawakan cerita-cerita Melayu, India, dan Barat. Sekali setahun teater ini menggelar pertunjukan ke berbagai pelosok Serdang untuk menghibur rakyat secara gratis. Sultan juga menghidupkan teater tradisional ”Makyong” dan wayang kulit Jawa yang dihadiahkan oleh Sultan Hamengkubowono VIII. Biasanya kesenian ini digelar pada tiap hari raya di depan Istana Perbaungan.

Saat perang dunia kedua, ketika Jepang masuk Serdang melalui Pantai Perupuk Tanjung Tiram, pasukan ini terkejut tatkala masuk ke istana menemukan gambar Tenno Heika Meiji tergantung di dinding istana. Sejak itu, hubungan Sultan Sulaiman dengan tentara pendudukan Jepang terjalin baik. Bahkan, Sultan diberikan mobil dengan plat no. 1. Selain itu, Jepang juga berjanji tidak akan mengambil pekerja paksa dari Serdang dengan syarat Serdang harus menyuplai beras ke markas-markas Jepang.

Kendati dapat berdamai dengan Jepang, Sultan Sulaiman segera mengibarkan bendera merah putih ketika mendengar Proklamasi 17 Agustus 1945 melalui Gubernur Sumatera Timur ketika itu, TM Hassan. Sultan kemudian mengirimkan sebuah telegram kepada Presiden Soekarno dan menyatakan kesultanan Serdang serta seluruh daerah taklukannya mengakui kekuasaan pemerintah Republik Indonesia dan karenanya, dengan segala kekuatan akan mendukung Republik Indonesia.

Ketika masa pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS), keadaan Sumatera Timur mengalami pergolakan yang dilakukan oleh rakyat secara spontan menuntut agar Negara Sumatera Timur (NST) yang dianggap sebagai prakarsa Van Mook (Belanda) dibubarkan dan wilayah Sumatera Timur kembali masuk negara Republik Indonesia.

Negara-negara bagian dan daerah-daerah istimewa lain di Indonesia kemudian bergabung dengan Negara Republik Indonesia (NRI), sedangkan Negara Indonesia Timur (NIT) dan Negara Sumatera Timur tidak bersedia. Akhirnya pemerintah NRI meminta kepada Republik Indonesia Serikat untuk mencari kata sepakat dan mendapat mandat penuh dari NST dan NIT untuk bermusyawarah dengan NRI tentang pembentukan Negara Kesatuan dengan hasil antara lain, UUDS Kesatuan yang berdasar dari UUD RIS diubah, sehingga sesuai dengan UUD 1945. Atas dasar itu, Kesultanan Serdang masuk dalam Kabupaten Deli Serdang. Karena Sumatera Timur dibagi atas 5 afdeling, salah satu di antaranya adalah Deli dan Serdang. Afdeling ini dipimpin oleh seorang Asisten Residen serta terbagi atas 4 (empat) onder Afdeling yaitu Beneden Deli beribukota di Medan, Bovan Deli beribukota di Pancur Batu, Serdang beribukota di Lubuk Pakam, Padang Bedagai beribukota di Tebing Tinggi dan masing-masing dipimpin oleh seorang kontrolir. Kini, memasuki tahun 2008 Serdang merupakan sebuah kabupaten yang terpisah dengan Deli.

(khidir Marsanto/ensi/07/01-09)

Pantai Perupuk Kab. Batubara

Pantai Sejarah Perupuk merupakan satu-satunya objek wisata pantai di Kecamatan Limapuluh Batubara, jaraknya sekitar 17 kilometer dari Limapuluh Kota ibu kota Kecamatan Limapuluh.
Pantai Sejarah memang menjadi tumpuan wisatawan lokal untuk berekreasi melepaskan lelah di akhir pekan dan hari besar lainnya. Bila di Pantai Sejarah digelar berbagai pertunjukan seperti keyboard dan kegiatan motor cross dengan karcis masuk terjangkau dipastikan pengunjungnya cukup membludak dan pihak penyelenggara meraup untung lumayan besar. Di tempat itu juga sering dimanfaatkan mengadakan berbagai kegiatan seperti acara pelantikan maupun HUT Parpol, Ormas dan OKP plus hiburan.
Kehadiran warga di sana selain menikmati hiburan, sekaligus berekreasi menikmati indahnya panorama Pantai Sejarah.
Pantai Sejarah Perupuk juga terkenal sebagai tempat pertamakalinya bala tentara Jepang mendarat di Asahan thn 1946.
Pantainya yang landai dengan pasir putih memanjang ratusan meter dijadikan tempat mandi-mandi pakai ban mulai dari anak-anak hingga orang dewasa penuh canda dan tawa ria. Di bagian daratnya seluas beberapa hektar tumbuh pohon-pohon besar, di bawahnya dijadikan tempat istirahat dengan menggelar tikar. Di pinggiran pantai tumbuh pohon-pohon bakau, jadi tempat berkembang biak berbagai jenis ikan laut. Banyak pengunjung yang datang untuk memancing ikan.

Di Pantai Sejarah juga dibangun hechery (proyek pembibitan udang) berikut bangunan sarana pendukungnya. Bangunan hechery dengan rangka baja beratap dan berdinding kaca merupakan bangunan antik yang banyak menjadi perhatian pengunjung. Tujuannya untuk memenuhi permintaan bibit udang untuk para nelayan pemilik tambak, juga dimaksudkan sebagai pendukung memajukan objek wisata Pantai

Sejarah.

Tapi upaya Pemkab Asahan untuk mengelola Pantai Sejarah menjadi objek wisata pantai yang bisa menjadi sumber PAD sangat jauh dari harapan. Salah satu faktor penyebabnya dana yang terbatas serta sarana transportasi yang kurang mendukung. Kalaupun ada rencana akan membangun Pantai Sejarah Perupuk dengan mendatangkan investor dari luar, baru sebatas wacana.

Sejalan dengan perubahan alam, cuaca di Pantai Sejarah pun berubah. Ombak pantai biasanya cukup bersahabat dari hari ke hari terus berubah menjadi besar diiringi pasang besar. Ombak besar yang datang bergulung-gulung telah mengakibatkan abrasi di Pantai Sejarah. Pepohonan yang tumbuh di pinggir pantai satu persatu roboh kelaut.

Akibatnya cukup fatal. Sepanjang ratusan meter hamparan pasir putih itu pun tertutup lumpur. Kini hamparan pasir putih telah lenyap bak ditelan bumi. Bila pasang surut, yang terlihat hanyalah hamparan lumpur menghitam sepanjang puluhan meter ke arah laut lepas. Para nelayan tidak bisa lagi merapat di Pantai Sejarah untuk menjual hasil tangkapannya. Pengunjung pun tidak dapat lagi membeli ikan segar dari nelayan.

Kini, kalaupun ada kegiatan digelar di tempat itu pengunjungnya sudah jauh berkurang. Pantai Sejarah memang tidak menarik lagi untuk dikunjungi. Selain itu fasilitas yang ada di kawasan itu sangat tidak memadai. Yang ada saat ini cuma bangunan darurat tempat berjualan sekadarnya. Pada malam hari kawasan itu dijadikan tempat kencan pasangan yang bukan suami istri.

Entah apa sebabnya proyek pembibitan udang terhenti total. Bangunan hechery yang terbuat dari rangka baja beratap dan berdinding kaca semuanya habis dijarah orang tidak bertanggungjawab. Semuanya kini tinggal kenangan. Sekarang Kabupaten Asahan telah dimekarkan. Pantai Sejarah masuk wilayah Batubara. Mungkinkah Pantai Sejarah masih dapat dibenahi? Siapa peduli. Pantai Sejarah, nasibmu kini.